hari#3 – Luang Prabang
Sambil naik bus malam saya berpikir; bus Vientiane – Luang Prabang, makan waktu 11-12 jam perjalanan, tarifnya K120,000, dengan harga solar K9,850. Dengan hitung-hitung konversi warung kopi: 1USD=K8, 500=Rp9.500) maka ongkos yang dibayar sama dengan naik bus Jakarta – Surabaya, ongkosnya Rp135.000 dengan harga solar Rp 10.835. Ekonomi biaya tinggi memang seperti kentut, tak kelihatan tapi nyata baunya. Sejauh ini yang terasa mahal di Laos adalah: tarif WC terminal K2,000!!
Pagi-pagi saya disambut hujan di Terminal Bus Luang Prabang. Saya naik tuk-tuk K10,000/orang untuk masuk ke dalam kota. Di penginapan Choumkong, paling murah menurut LP namun memiliki ‘kamar mandi paling besih’. Lumayan, K50,000 per malam per kamar untuk kamar dengan fan dan kamar mandi luar.
Yang cukup mencolok mata sejak kedatangan di Luang Prabang adalah rambu dilarang merokok di Tuk-tuk dan di penginapan. Tampak stiker “Luang Prabang – World Heritage without Smoke.” Gile, Laos ini negara paling miskin di kawasan tapi warganya dilarang merokok! Merokok kan membantu melupakan kesulitan hidup dan lumayan buat pemasukan negara.
Saya mengunjungi Istana Luang Prabang (K30,000) yang isinya adalah barang-barang milik kerajaan. Bangunan kerajaan di pinggir sungai besar begini, mengingatkan saya pada bangunan Kesultanan Kutai Kertanegara di Tenggarong. Dari sedikit koleksi buku yang dipamerkan, rata-rata adalah buku tentang pemikiran kiri.
Keluar dari bangunan istana, saya dipersilakan mengunjungi koleksi kendaraan Raja. Ada lima mobil: sebuah Land Cruiser tahun 60-an dengan boat trailer, Citroen, dan tiga unit Cadillac yang tertulis sebagai “Present from US Government” hehe…, kendaraan diplomasi atau diplomasi kendaraan nih?
Agak menyebalkan ketika mengumpulkan informasi masalah kuliner di Luang Prabang, karena kebanyakan hanya mendiskusikan betapa Luang Prabang menyediakan kemudahan untuk mendapatkan makanan Eropa. Lama-kelamaan saya sedikit mengerti, mungkin yang dijual dari Luang Prabang adalah memang romantisme era kolonialisme. Duduk di café, sambil memperhatikan aktifitas rakyat negara jajahan. Saat di coba sendiri, wuih memang enak loh!!
Saya makan di warung pinggir jalan yang menjual noodle soup. Saya mampir di situ karena kelihatan banyak warga setempat yang makan di warung itu. Bahasa tarzan ambil peranan kalo sudah begini. Pergi langsung ke dapurnya dan tunjuk apa yang dimau: Mie seperti kwetiau plus ayam. Biasanya penjual soup mi seperti ini menyediakan empat pilihan topping: Ayam, Sapi, Babi, Marus (Darah), atau campuran; biasanya Babi dan Marus, ditambah generous amount of vegetable sebagai side dish.
Saya memperhatikan di sayuran yang disajikan sebagai sidedish terdapat buncis dan di meja tersaji kemasan terasi udang. Awalnya terasi dan buncis saya celupkan ke dalam mangkok noodle. Setelah saya perhatikan, warga setempat mencolekkan buncis ke terasi udang dan langsung dimakan. Not bad juga loh rasanya, buncis yang agak pahit dan gurihnya terasi. Cobain di rumah deh! Saya berpikir, terasi udang pasti produk yang lumayan mewah dan diimpor dari luar Laos, karena Laos tidak punya garis pantai.
Kalau kurang kenyang, bisa minta disajikan sticky rice -nasi ketan yang dimakan bersama noodle soup. Cara makannya adalah dengan mengambil segenggam nasi ketan, dipenyet-penyet di tangan sehingga membentuk bola padat dan kemudian dicelupkan kedalam soup, kemudian diemplok. Setelah selesai makan tidak usah cuci tangan lagi, karena kotoran di tangan sudah pindah semua ke nasi ketan.
Sorenya saya naik tangga ke Wat Phushi, untuk bisa melihat seluruh kota Luang Prabang termasuk airport-nya. Luang Prabang adalah titik pertemuan sungai Nam Kham dengan ‘the mighty’ Mekong. Pemandangan ke arah Luang Prabang cukup cantik. Tapi ke arah Mekong harus terganggu oleh tiang listrik dan antena BTS.
Setiap malam, di depan Istana digelar pasar malam. Relatif sepi dibanding Pasar Malam di Chiang Mai. Tapi karena itu lebih bisa dinikmati. Yang menarik adalah desain barang-barang yang dijual. Walaupun menggunakan motif etnis Laos, barang kerajinan yang dijual, didesain dengan sangat baik menjadi taplak, bedcover, atau sarung bantal. Lampion berbentuk bola, accordion, atau kotak yang dijual dibuat untuk bisa dikemas dengan ringkas. Termasuk buku catatan yang terbuat dari kertas daur ulang. Buku catatan dari bahan kertas daur ulang ini dijual dengan harapan digunakan sebagai tempat untuk menempelkan tiket bus maupun obyek wisata yang dikunjungi selama perjalanan.
Harus diakui, institusi yang membina Luang Prabang sukses besar, menciptakan pasar malam, mengarahkan desain dan berbagai rantai produksi, dan tentu saja mendatangkan pembeli.
Urusan makan malam, ada gang di ujung pasar malam, tempat mangkal beberapa penjual ikan bakar. Ikan berukuran panjang hampir 25 cm, hanya dihargai K20,000.
Kalau di Indonesia, kosmetik dijual dengan bingkai sebagai rahasia kecantikan putri-putri kraton, di Luang Prabang sebuah tempat pijat menjual etnis Khmu sebagai bingkainya. Dalam iklan, mereka bilang: ”Orang Khmu tinggal di gunung dan kerjaannya bertani, bayangin pegelnya mereka jalan kaki naik turun gunung dan bekerja di ladang. Pijat Khmu dikembangkan secara turun-menurun untuk menghilangkan penat setelah bekerja di ladang dan naik turun gunung. Datanglah ke tempat kami – Khmu Spa dan Pijat dan buktikan sendiri”. Anda mau bikin pijat Baduy di Jakarta?”
Hari#4 – Luang Prabang
Jam 6 pagi saya sudah nongkrong di depan Wat Xieng Thong, tempat para Bikhu akan memulai ritual sedekah pagi. Dalam perjalanan menuju ke sana saya melihat beberapa warga Luang Prabang sudah bersedia di pinggir jalan dengan tempat bambu berisi beras ketan, lauk, atau pisang.
Pukul enam, dari dalam Wat terdengar suara kentongan dengan irama seperti beduk pembuka azan di pulau Jawa. Para Bikhu mulai terlihat di lapangan Wat dan mulai berjalan keluar. Konon para Bhiku ini tidak makan selain apa yang mereka dapatkan saat ritual sedekah pagi.
Sehari sebelumnya, di beberapa tempat saya melihat banyak poster di penginapan dan tempat umum di Luang Prabang mengenai sikap yang harus dijaga para turis saat menyaksikan sedekah pagi; kepala tidak boleh lebih tinggi dari para Bikhu, dan tidak boleh memotret dari jarak yang terlalu dekat. Juga diingatkan para turis untuk tidak membeli nasi dan memberikan kepada Bhiku bila tidak yakin mengenai kualitas dari nasi tersebut. “Respect our culture” kalimat di akhir posternya. You can pay doesn’t mean you can do anything you like! – yang ini kalimat saya sendiri.
Para Bikhu yang berjumlah hampir 200 orang ini, melakukan satu putaran di semenanjung Luang Prabang sampai di Istana dan kembali ke Wat untuk memulai aktivitas.
Saya ngopi sambil membuka bungkusan daun pisang berisi ketan hitam, persis seperti yang dijual mbok penjual cendil di Jawa. Sejauh ini, di pasar basah, beberapa jajanan mak-pleg sama persis jajan pasar di Jawa. Ketan, singkong, rengginang, bahkan sempet lihat intip seperti di Solo.
Siangnya saya mencoba keluar dari daerah turis dengan sepeda, suasananya seperti kota kecamatan di jalur Pantura Jawa: berdebu, warung, bengkel, dan toko kelontong di mana-mana. Waktu mampir ke airport. Karena sempat salah jalan, saya hampir masuk ke runway dengan sepeda. Kayaknya memang bukan ide bagus menggunakan transportasi udara. Kalo sapi yang nyasar, gimana coba?
Pukul 3 sore, saya berbagi boat dengan pasangan Italia. Mereka datang ke Luang Prabang dari arah Huay Xai menelusuri Mekong selama dua hari. Untuk rute air menuju Luang Prabang, juga bisa menggunakan speed boat yang biasanya dijuluki Mekong Formula-1 dan hanya makan waktu hanya 6 jam.
Waktu tawar-menawar rasanya cukup kesal juga membayar K320,000 dibagi berempat ke gua Pak Ou. Tapi tertebus oleh perjalanan sungai selama 2 jam menuju hulu dan satu jam turun. Di tengah perjalanan saya mampir ke satu desa yang “dikemas” dengan baik. Sebuah desa kecil dengan Wat kecil dan Bikhu-nya, ada pembuatan Lao Wiskey, dan banyak penjual cinderamata. Di beberapa toko dipajang alat tenun tradisional yang tampaknya tidak pernah dipakai. Tapi cukup untuk membuat pengunjung berpikir bahwa kain yang dijual dibuat dengan alat tenun tradisional.
Pak Ou Cave sendiri jauh dari impresive. Sedikit di atas permukaan air Sungai Mekong dan tidak seberapa jauh masuk kedalam. Memang banyak patung Budha berukuran kurang lebih 10-20 cm, jumlah yang saya ragukan mencapai 4.000 buah seperti diklaimnya.
Malam hari saya kembali strolling around pasar malam. Ada tiga wanita bercakap-cakap dengan “elo – gue”. Hmm, orang Indonesia apa bukan ya? Bodo ah, males negur-negur. Setelah satu putaran, ketemu lagi dengan mereka, dan masing menenteng kantong kresek besar penuh produk cinderamata! Sekarang saya yakin, mereka orang Indonesia!!! (dan memang benar orang Jakarta, karena teman saya memutuskan untuk menegur).
Makan lagi dengan menu ikan bakar di pasar basah. Waktu lagi duduk di bangku warung, kali ini saya ditegur duluan oleh seorang wanita yang ternyata berasal dari Ubud – Bali, dan sedang bekerja untuk peluncuran hotel group terkenal. “Enam bulan saya kerja di Luang Prabang, gak pernah ketemu orang Indonesia. Lah, malah di tengah pasar gini ketemu!” Iya lah, Mbak… Law of fatal attraction…
0 komentar:
Posting Komentar